Menulis Kisahku


Baiklah.

Bagaimana aku harus menggambarkan hari ini?

Saat pagi harinya aku begitu bersemangat akan bertemu dengan salah satu kakak kelas yang semasa SMA senantiasa belajar bersama, bertumbuh bersama. Saat sebelum zhuhur aku sudah duduk rapi di angkutan umum, terkantuk-kantuk membolak balik kertas catatan tutorial, memulai perjalanan satu setengah jam seperti masa SMA-ku dulu. Saat aku melaksanakan sholat zhuhur di sebuah masjid di dekat UPN, tempat aku dan sahabat-sahabatku sesekali melakukan syuro di waktu luang sekolah.

Setelah jam terus berdetak, memutari angka-angka yang mewarnai siklus kehidupanku—ah, bukankah kehidupan itu terdiri dari waktu, atau bahkan waktu merupakan kehidupan itu sendiri—hingga tak terasa satu setengah jam aku menunggu di sudut masjid. Satu setengah jam yang berharga tatkala ia didampingi Al Qur’an tercinta 🙂

Lantas, setelah satu setengah jam itu, aku memutuskan untuk pulang. Sayang sekali kakakku tak kunjung datang. Hendak menanyakan kabar, HP-ku dengan cerdasnya tertinggal di rumah. Mungkin kakakku yang satu ini memiliki kesibukan yang harus lebih diprioritaskan. Kabarnya pagi ini ada syuro di kampusnya, dan sore hari ada ifthor jama’i. Mungkin ada keperluan lain di sela-sela kedua agenda tadi. Husnuzhon itu indah, bukan?

Mulanya aku sengaja melambat-lambatkan langkah, memutar otak rute pulang mana yang akan kupilih. Betapa menyenangkannya jika aku bisa bershilaturrahim ke rumah dua kakakku yang lain, keduanya tinggal di daerah yang searah dengan perjalanan pulangku. Alangkah menyenangkannya bisa berbicara dan berbagi cerita dengan mereka, menuturkan kabar setelah 4 bulan lebih aku meninggalkan kotaku. Alangkah menyenangkannya.. Lalu, bagaimana aku harus menghadapi rasa sedih karena baru saja dan sedang kehilangan kesempatan itu?

Saat aku menulis ini—lagi-lagi di angkutan umum seperti biasa, satu pemahaman baru terlintas.. Memang, Nur, aku tahu betapa menyenangkannya bisa mendengarkan kisah perjuangan mereka , mendengarkan nasihat atau cerita yang menghangatkan, menegarkan, dan membangkitkan. Alangkah menyenangkan duduk di samping mereka sembari mendengarkan. Tetapi, semua ada masanya, Nur.. semua ada waktu kebijaksanaannya. Ada saatnya kau harus beristirahat dari mendengarkan kisah yang menginspirasi, atau membaca jenak-jenak langkah yang memotivasi.

Ada saatnya kau harus menatap sepenuhnya pada dirimu, dan menuliskan kisahmu sendiri. Menggenggam pensil (seluruh dayamu), dan menuliskan kisah terbaikmu di kertas (lembar kehidupanmu) dengan izin-Nya.

Itulah yang perlu kau lakukan, sebagaimana saat ini kau merangkai kisah ini di kertas catatan tutorialmu (aku lupa membawa buku).

Dan satu jam perjalanan pulang ini pun tak lagi terasa menyedihkan, karena aku baru saja belajar. Betapa menyenangkan bisa belajar di perjalanan.

Alhamdulillah.

(Tulisan ini selesai tepat sebelum aku hendak turun dari angkutan umum. Terima kasih, Kak ^_^)

Previous Post
Leave a comment

Leave a comment