Empat Kucing dan Seorang Gadis


Yellow_tiger_cat

Sumber gambar : http://warriorcatsrpg.wikia.com/wiki/Warrior_Cats_Roleplay_Wiki?file=Yellow_tiger_cat.jpg

 

Gadis kecil itu sedang menikmati pagi yang periang. Katanya, sinar matahari pagi bagus untuk tubuhnya. Maka, setiap pagi, bersama sang ibu, ia bermain-main di luar rumah untuk membiarkan kehangatan mentari menyentuh tubuhnya.

Ia tak pernah yakin satu potongan kecil ingatan lainnya benar-benar nyata atau tidak. Ia selalu menyimpan satu sosok lainnya. Seekor kucing mungil yang setia menemaninya bermain.

Mungkin kucing itu juga suka berjemur. Mungkin ibu kucing juga memberitahunya diam-diam bahwa matahari pagi itu menyenangkan.

Gadis itu suka mengamati kucing itu berlari-lari kecil di dekatnya. Kepala mungil sang kucing sering mendongak, lalu mata mereka akan berbicara.

Entah bagaimana, kucing itu seperti mengerti apa yang dia pikirkan. Saat gadis kecil itu mengoceh, kucing itu akan menggoyangkan kepala atau ekornya, lalu mengeong dengan ceria. Gadis kecil itu tersenyum. Dengan caranya juga, sang kucing akan mengeong lucu sambil menggeliat.

Acara berjemur yang ajaib.

Kali ini, sang gadis kecil (yang sudah lebih besar) sedang berada di rumah neneknya. Setiap liburan ia bermain dengan geng sepupu. Dia dan dua sepupu laki-lakinya. Tiga jagoan kecil yang sering membuat heboh.

Pernah mereka bermain api dan hampir membuat rumah om mereka di Palembang hampir terbakar.

Saat berada di Betung, kantin besar milik Nenek adalah tempat favorit mereka. Nenek sangat pandai memasak. Bila lapar, mereka bebas meminta makanan yang mereka suka pada Nenek. Sisanya, mereka bermain kejar-kejaran atau hal lain yang saat itu tampak menarik.

Suatu hari, gadis kecil itu menangkap bayangan panjang di salah satu bagian kantin Nenek. Bayangan itu bergerak cepat. Meliuk.

“Ular!” ia berseru tanpa ragu.

Matanya tak lepas mengawasi hewan melata yang membuatnya takut, tapi penasaran. Teriakannya dan geng sepupu terdengar oleh orang dewasa. Beberapa orang dewasa dan salah satu siswa Kakeknya  (ya, siswa, begitu mereka biasa menyebut siswa di Sekolah Polisi Negara tempat Kakeknya mengajar) masuk membawa peralatan untuk menangkap sang ular.

Gadis itu terpana.

Kepala sang ular terangkat jauh beberapa meter di depannya.

Tepat di depan sang ular, seekor kucing pemberani berdiri tegak dengan empat kakinya.

Kucing itu Allah kirim untuk menjaga sang gadis kecil dan geng sepupu sebelum para orang dewasa tiba.

Waktu bermain yang mendebarkan.

Beberapa tahun sesudahnya.

Gadis kecil di cerita kita sudah tumbuh dewasa. Usianya dua puluh. Siang itu, dia baru saja kembali dari kampusnya. Menyapa ibu penjaga kosan, lantas mengambil kunci yang tergantung di dinding tepi kulkas.

Saat hendak berjalan menuju tangga, matanya terbelalak.

“U.. lar..” ejanya.

Dia berjinjit dan melompat ke atas sofa. Memastikan rupa makhluk berwarna hitam yang sedang meliuk cepat di sisi kamar kakak kelasnya dahulu.

“Ibu… Ada ular!” kali ini suaranya lebih kuat. Memanggil ibu penjaga kosan yang sedang berada di lantai yang sama.

Setelah itu kehebohan kecil terjadi di kosan yang mulanya sunyi. Alhamdulillah, salah seorang pegawai kosan mereka yang laki-laki sedang mengecat salah satu kamar.

“Pak, ada ular!”

Bapak pegawai kosan membawa sapu bergagang panjang. Lantas, bertiga mereka meneliti setiap sudut lantai satu. Mengangkat sofa. Menyenter bagian bawah meja. Menelisik tepi kulkas.

Tidak ada.

Gadis itu terdiam. Mengurungkan niat berjalan ke kamarnya di lantai dua.

Ibu penjaga kosan dan bapak pegawai kosan juga berhenti mencari.

“Mungkin makhluk lain, Bu. Mungkin jin.” Gadis itu mengarang satu jawaban atas keheranannya. Ular itu cukup besar, tidak mungkin melewati bagian bawah pintu menuju bangunan kosan lainnya. Jadi, dia nyengir dan beranjak ke kamar temannya di bagian lain kosan.

Karena lapar, gadis itu dan temannya memutuskan untuk membeli makanan di luar kosan.

Sebelum mencapai gerbang, seekor kucing lincah yang terlalu ‘suka’ bermain dengan mereka duduk sambil memiringkan kepala.

Bayangkan saja, pernah saat gadis itu melewati sang kucing dalam keadaan aman sentosa, sang kucing menekuk tangannya dan mencakar kaki sang gadis. Gadis itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, disambut dengan cengiran bangga sang kucing. Kucing itu juga hobi mengejar-ngejar setiap penghuni kosan, terlebih saat mereka membawa makanan.

Gadis itu teringat kisahnya di kantin Nenek.

“Kucing, matamu yang tajam ya, amati kalau ada ular. Hati-hati.”

Sekembali ke kosan, ibu penjaga kosan melapor pada sang gadis, “Sudah ketemu, Neng. Tadi lagi main di pinggir-pinggir situ sama kucing.”

Gadis itu mengangguk-angguk.

Allah mengirimkan kucing itu untuk menjaga mereka dari makhluk-Nya yang melata.

Saat itu, dua kucing ‘menyebalkan’ yang ia cap menjadi musuh bebuyutan karena sering mengejar-ngejar diirinya, ia ajak mengobrol dengan santai di dua tempat berbeda.

Yang satu sedang akan tidur siang dan acuh tak acuh.

Yang lain, sang kucing lincah yang lebih muda, tetap ceria dengan cakarnya yang sering iseng.

Hari itu mereka bertiga berbaikan.

Kucing adalah makhluk Allah yang pemberani. Gadis itu suka mengajak mereka mengobrol saat sedang berada dalam kondisi gencatan senjata. Pertama, dia sedang tidak membawa makanan. Kedua, saat sang kucing tampak sedang tidak ingin iseng mencakar orang.

Tidak seperti dahulu, gadis itu sekarang menjaga jarak dengan kucing. Semenjak ia tahu, pada kucing liar, banyak potensi kuman dan penyakit yang ditularkan.

Selebihnya, mereka tetap bersahabat dengan segala keisengan dan cara mengobrol yang unik. Begitulah.